GAGASMEDIA OFFICIAL WEBSITE AND BLOG »

Tuesday, April 20, 2010

SUGAR SUGAR (bagian 3)

Pardonnez-moi, Dahling… tapi aku bener-bener shock nih. Baru sekali ini aku ketemu orang miski—euh, maksudnya, anak scholarship. Bukannya aku nggak tahu mereka ada ya… cuman, ng, aku memilih untuk pura-pura nggak tahu aja. Sama kayak salamander—hayo, berapa banyak kalian yang ngeh spesies makhluk jelek ini nyaris (ato mungkin beneran udah) punah? Tunjuk tangan dong… nggak banyak kan?

*tersenyum penuh kemenangan*

So… does it work? I mean… dengan kerja sebagai model, emangnya bantu banget ya buat nutupin semua pengeluaran lo?”

Well, sejauh ini sih gue nggak pernah lagi nadahin tangan ke bokap-nyokap buat sekadar jajan ato beli buku.”

Awww…. Nggak bisa! Aku berusaha keras nahan air mukaku sewajar mungkin tapi tetep nggak bisa. Gimana coba aku nggak kasihan sama ceritanya yang menyayat hati itu? Sama kayak waktu ngeliat muka anak-anak cewek di homeroom-ku yang melas banget waktu ngeliat dompet kulit Vivienne Westwood-ku dan Is yang oh-so-limited edition. Belinya aja pake nitip sodara Is yang shopping trip ke Jepang.

Aku pengen ngomong sesuatu—apalah, pokoknya yang bisa membesarkan hati cowok ini (yang btw, nggak juga aku tahu nama lengkapnya), eh dia malah keburu cabs. “Eh, gue ke sana dulu ya.”

“Ke mana?”

Dia kayaknya nggak denger dan langsung main ngibrit aja. Kecewa.

*

Sekitar setengah dua belasan aku dan Mama tiba di apartemen. Berbeda dengan aku yang langsung membungkuk dan menyambut eongan Louboutin (biar nggak ribet, manggilnya Lou aja), kucing persia keluarga. Mama menjatuhkan tubuh model thin-nya di atas sofa dan melemparkan begitu saja clutch Guess-nya di atas meja kopi. “Mama capek,” keluhnya sambil memijat tumit kakinya yang disiksa mampus sama Manolo perak-emasnya. “Kamu bikinin Mama teh dong.”

“Aduh, Tatiana juga capek kali, Ma….” Nggak ada tanda-tanda kasihan dari arah sofa. Sigh. “Ya udah, entar dibikinin. Tapi lima menit lagi.”

Sambil memeluk tubuh Lou erat-erat, lagi-lagi aku kepikiran si freak a.k.a model scholarship di fashion show Strange Fruit tadi. Bukannya suka ato gimana sih…. Oke, tarolah mungkin SUKA (puas?!), tapi… euh he’s really not my type. Cowok yang harus bolak-balik runway demi beli baju baru jelas sekali bukan spesies cowok yang pengen aku pacari.

I’m a princess… so I need a prince.

Dan ya, meskipun princess ini lima menit kemudian diperbudak ibunya buat bikin teh, bukan berarti standarnya soal cowok lantas menurun drastis.

“Ta… teh!”

“Iya, iya.” Bawel, tambahku dalam hati.



Alkisah, my mum a.k.a The Black Widow pernah deket sama seorang desainer interior junior sebuah toko furnitur kelas atas. Brondong, dengan rambut di-wax mohawk kayak cowok-cowok twentysomething zaman sekarang. Bottom line is, ew.

Mama yang sedang dalam fase in love banget sama itu brondong, mau-mau aja seisi apartemen ini jadi kelinci percobaan. Furnitur kami yang serba elegan dan bergaya Queen Anne (all pink… my favourite) harus enyah! Black is the new black, katanya dengan bangga. Si Brondong mengubah rumah kami kayak sarang hantu Suzanna dengan wallpaper syerem warna hitam-bitu. Nggak banget, pokoknya.

Sekarang ngerti kan kenapa aku ogah banget bikinin Mama teh tengah malam bolong begini. Bener-bener nyeremin… mana si Brondong brengsek itu mati-matian ngerayu Mama buat majang bangkai gagak yang di air keras di rak tepat di atas kaca wastafel. “Terinspirasi Edgar Allan Poe,” katanya dengan bangga. Edgar Allan Poop, kalo menurutku sih!

Tanganku meraba-raba cabinet di atas kepala untuk mencari sachet peach tea Dilmah ketika handphone-ku bergetar di dress. Aku memang lupa mengaktifkan ringtone-nya sejak acara fashion show tadi.

Oh, ternyata Is.

Wassup, Dahling….

“Lo ke mana aja sih, Cyiiin?! Gue neleponin lo sampe bego tau nggak?”

“Kan gue bilang lagi di Strange Fru—“

“Don’t care!”potongnya nyinyir. “Lo harus denger berita ini, ASAP! It’s about your cemceman, kak Samuel!”

“Kenapa dengan Kak Samu?”

Can I say, ‘ding dong the witch is dead and now your love of your life is purely single?’”

“SERIUS LO, CYIIIIN?!”

Saat itulah, ups—

PRANG!

“Tatiana! Apa yang pecah!!!”

Cangkir Royal Doulton edisi Gordon Ramsay Mama… euh, let say… nggak genap selusin lagi deh….

I am SO DEAD!

SUGAR SUGAR (bagian 2)

Strange Fruit Fashion Show

Mash-up lagu-lagu Lady GaGa mengiringi fashion show malam itu. Strange Fruit adalah brand lokal yang lagi hip dua-tiga tahun ini. Head designer-nya pernah bekerja buat rumah mode Balenciaga selama beberapa waktu. Lumayanlah sebagai penjamin kualitas baju-baju keluaran label ini.

Aku di sini bareng mamaku, janda multimiliuner kaya kebangsaan Inggris. Aku nggak merasa malu cerita soal itu, secara ya almarhum Alexander Cavanaugh II juga bukan ayah kandungku ini. Nama lengkap mamaku adalah Indira Rachmaniar Pribadi Sterling Cavanaugh. Yep, almarhum Papa Alex adalah suami ketiganya. Dan karena ketiga suami mama meninggal dunia semua, rumour said mama adalah black widow—a.k.a. janda berbahaya yang bakal bikin suaminya cepet meninggal. Aku, meskipun marah banget karena reputasi mamaku itu, memilih pura-pura nggak denger aja. Toh, nggak satu pun yang berani ngomong ke mama secara terang-terangan. Milihnya cara penakut—bergosip di belakang kami.

Mama pun sepertinya nggak peduli. Dia duduk dengan tenang di front row bersamaku, mengacuhkan beberapa pasang mata yang nggak tahu malu melirik langsung ke mamaku. Aku bisa mendengar suara bisik-bisik mereka meskipun nggak jelas ngomong apa. Pasti soal black widow itu deh—brengsek!

Mama menyikutku. Dia bilang, nggak usah peduliin orang-orang itu—tonton aja fashion show-nya. Aku mengangguk patuh. Sejurus kemudian, aku seperti terhipnosis pada pakaian yang dibawakan model-model saat berseliweran di atas catwalk. Tema Goth Glam dibawakan baik sekali oleh Strange Fruit. Ada kali lima-enam baju yang aku taksir berat di tempat. Ugh, kalo aja Mama berbaik hati ngebeliin satuuu aja dari baju-baju itu, aku janji nggak bakalan boros dalam beberapa bulan ke depan. Well, sort of.

Entah apa yang mendorongku mengangkat kepala dari buku program di tangan. Sosok memesona terlihat dalam balutan muscle tee berpayet-payet dan celana ketat dari kulit. Oke, mungkin nggak sememesona kedengarannya, but still… he’s hawt. Kombinasi glamrock superstar dan cowok yang sering kamu lihat di jalanan Harajuku.

Tapi tunggu-tunggu… kok orang itu kinda familiar. Kaki jenjangnya… mata teduh di balik pulasan eyeshadow berbentuk bintang (agak Lady GaGa-esque sih menurutku).

“Maaf banget ya.” Suara memelas itu tiba-tiba menggema di kepalaku seperti alarm pengingat. Oh my Gawd, si freak!!!

Aku memicingkan mata untuk memastikan nggak salah déjà vu. Aku sering begitu soalnya, salah mengenali orang yang biasanya berujung hal memalukan. Tapi entah kenapa intuisiku saja sampai meng-approve. Memang beneran si cowok freak. Cowok yang bikin aku alergi sejak pandangan pertama. Wow… nggak nyangka aja, ternyata dia punya sisi fabulous juga. A model. A MALE model.

Akhirnya aku mengerti juga kenapa cowok itu rame dikerubungi cewek-cewek. No wonder… model sih. Cewek-cewek fashionable kan seneng cowok cantik dan yang terlihat pinter ngerawat diri. Yang nyaman mengobrol tentang Louboutin seperti halnya mengobrol tentang hal-hal kasual yang terjadi di sekolah. Tipe cowok yang kujauhi.

Kak Samuel, meskipun luar biasa ganteng, nggak metroseksual kayak si freak.

Tapi… oke, mataku nggak putus-putusnya mengikuti langkah mantap cowok itu sampai menghilang ke backstage. Suka? Ugh, belum tentu. Penasaran? Pastinya. Meskipun saat ini aku masih dalam fase penyangkalan kelas berat, aku nggak bisa menutupi rasa tertarikku. Jarang-jarang lho kenal cowok model di dunia nyata. Oke, couple of. Tapi biasanya cowok-cowok model itu suka show off, entah namedropping nama selebritas terkenal atau sekadar membanggakan pekerjaan terakhirnya—ya runway lah, ya fashion spread majalah ternama lah, ya iklan produk lah. Gebetan Is ada tuh yang model—wek! Tingkat show off-nya sampe minta disemprot pake parfum aromaterapi biar tenangan dikit dan nggak usah kebanyakan membual soal kehebatan karier modelnya. Is juga ilfil, makanya setelah jalan seminggu, dia pura-pura buta setiap kali ngeliat nomor cowok itu muncul di layar ponselnya.

Reinaldy, desainer sekaligus temen baik Mama, keluar dari backstage diikuti model-model yang membawakan pakaian rancangannya. Kilatan blitz dan suara tepuk tangan mendominasi suasana. Aku ikut bertepuk tangan dan diam-diam berharap supaya cepet-cepet acara after show party. Dah bosen!
*

“What are you wearing, Tatiana?”
“Alexander McQueen and Sondra Roberts.”
“Sondra who?”
“Sondra Roberts, Dahling. She’s the new hot!”
“Oh.”


“Kompak banget ya sama mamanya. Deketan dong berdirinya… yaaa… so sweet!”
*diem aja, berusaha nggak mengurangi derajat bujur senyuman di wajah yang kupasang sejak setengah jam lalu*

“Nggak bareng pacar hari ini?”
“Ih, sok tahu,” *aku, dengan nada sok manja* “aku kan single seratus persen!”
*wartawan-wartawan itu ketawa aja—assholes!*

Begitu wartawan-wartawan itu perlahan menjauh, mama juga otomatis melonggarkan pelukannya padaku. Dia memang bukan tipe ibu-ibu yang senang pamer afeksi. Sebaliknya, dia nggak suka dengan fakta kalo aku yang udah high school ini adalah anaknya. Menurutku, my black widow mom nggak pengen kehadiranku merusak pasarannya.

Aku nggak marah dan malah mencari jalanku sendiri. Setelah menyambar segelas rum-coke dari tray seorang waiter, aku siap mingle sama orang-orang ini. Beberapa aku kenal baik, anak-anaknya masuk VIS juga kayak aku. Beberapa cowok melambaikan tangan ke arahku—pura-pura buta aja ah. Males banget digebet sama cowok kepala tiga.

Aku sembilan puluh tiga persen lupa sama fakta kalo si freak juga ada di pesta ini sampe mataku tertumbuk pada sosok ber-denim suit terlihat menyendiri di dekat piano. Matanya terpejam sementara kedua telinganya disumbat earphone iPod.

Jangan bilang aku Tatiana kalo aku bakal ngebiarin cowok itu seneng-seneng sendiri.

You're suppose enjoying the party,” kataku sambil mengguncnag bahunya lembut.

Si cowok freak terjaga seketika, menatapku dengan pandangan bego dan menggumamkan, “Eh?”

You're suppose enjoying the party,” ulangku.

I do.”

“Mojok-mojokan sendiri begini kamu bilang ‘menikmati pesta.’”

Dia tertawa. Aku baru menyadari, gigi depannya bercelah kayak Madonna.

“Kaki lo gimana?” Matanya tertuju langsung ke lututku.

“Baik-baik aja. Dah pake band-aid.”

“Baguslah.”

Diem-dieman dulu sementara.

So… you are a model huh?”

Cowok itu nggak bilang apa-apa.

“Udah berapa lama jadi model?” tanyaku lagi.

“Gue nggak berharap lo nyebar-nyebarin berita soal gue kerja modeling.”

Aku mengernyit. Nggak ngerti maksud ucapannya sama sekali.

“Modeling itu nggak… manly.”

Aku tertawa. “Lalu, kenapa tetap jadi model?”

I need the money.”

Aku terkejut dengan ucapannya. Need… money? Dia nggak berusaha merendah ato apa kan? “Lo nggak bermaksud nipu gue kan? Lo… butuh uang?” Aku ketawa. “You are VIS student, for Gawd sake! You have to be rich.”

Cowok itu menggosok-gosok hidungnya dengan punggung tangan. “Gue anak… scholarship.”

Oh.

My.

God
!

SUGAR SUGAR (bagian 1)

“Liat deh, liat deh... itu kan si freak yang kita omongin kemarin?”

Oke, sebelum kalian membayangkan yang nggak-nggak... cowok itu nggak freak-freak amat. He’s quite okay—cupu, tapi masih terbilang oke. Tingginya paling nggak selisih sepuluh sentimeter dari aku. Anak basket, wajarlah. Dan ganteng. Meskipun bukan tipeku (anak beasiswa nggak pernah masuk hitunganku), harus aku akui, aku lumayan mengerti kenapa selalu adaaaa aja cewek yang mampir di mejanya setiap lunch.

Hari ini, dua anak cheerleader (aku kenal salah satunya, Maria—the slut) yang duduk berseberangan dengannya di meja itu. Aku nggak gitu jelas mendengar percakapan mereka dari sini, tapi dilihat dari mata Maria dan temannya yang berbinar-binar gimana gitu kayaknya lumayan menarik.

Aku mendengus jijik.

“Mana?”

Aku memilih nggak melanjutkan pengamatanku lagi. Kubiarkan Is melihat sendiri cowok genit dan dua entourage-nya itu. Oh ya, ngomong-ngomong soal Is, nama lengkapnya Isabella. Yeah, kayak lagu imporan dari Malaysia itu. Dan tahun lalu, sempat tenar banget kan—sampai ada sinetronnya segala, malah. Is malu banget dan mewanti-wanti kita supaya brenti manggil dia dengan nama lengkap. “Is aja,” katanya dengan bangga, seolah-olah itu adalah solusi paling cerdas buat masalahnya. Menurutku sih nama panggilan itu tolol banget, tapi harus diakui lumayan catchy. Begitulah, sejak Januari 2010, dia resmi bernama Is.

“Anak kelas berapa sih, Ta?”

“Senior, Dahling. Kelas sebelas.” Aku juga tahunya baru-baru ini. Dari gosip, tentunya.

“Oh.” Is mengamat-amati cowok itu lagi sebelum bertanya,“Emang populer gitu ya orangnya?”

“Lo nanya gue? ‘Scuse me yaaa... di VIS ini, masih banyak cowok yang lebih keren dan lebih charming daripada nobody kayak... itu.”

Name one.”

“Samuel?”

“Ah, alasannya terlalu personal.”

True, tapi aku nggak peduli sama sekali. Di mataku, Samuel itu nomor satu. Semua orang di sekolah ini nggak ada apa-apanya sama sekali. Cuma teri. Nggak penting. Dan mulutku bakalan berbusa-busa saking semangatnya menyebut satu per satu kelebihan cowok itu.

Samuel Raumanen adalah anak tunggal pemilik chain hotel yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Rumour said, nama bapaknya masuk dua puluh lima besar orang terkaya se-Indonesia. Kakak tirinya, Andanari, rajin wira-wiri di televisi sebagai presenter dan bintang sinetron. Dua tahun lalu, Mbak Anda menang MTV Movie Awards untuk aktingnya di film debut berjudul ‘Setengah Cinta’.

Enough 'bout his family. Kak Samuel menekuni seni lukis sejak usia 9 tahun. Lukisannya berkali-kali dipamerkan dan mendapat apresiasi bagus dari para kritikus. Udah gitu, dia juga jago main pianonya. Meskipun sekadar hobi aja, tapi penampilannya membawakan ‘Unchained Melody’ di charity night VIS mendapat encore satu menitan saking bagusnya. Artsy guy is more my type. Sensitif, lembut, romantis, dan—

“Here you are.”

Aku tergagap saat orang yang ada di pikiranku sejak tadi seperti melompat dan ‘hidup’ di hadapanku. Dan dia tersenyum. Rasanya aku meleleh seperti sundae murahan McD.

“K-k-kak Samu....” Suaraku nggak kooperatif banget, gemetaran saat hidungku menangkap samar aroma Bvlgari Blv dari tubuh cowok itu.

Kak Samuel tersenyum geli melihat reaksiku. “Hayo, lagi ngeliatin siapa?” katanya, mengerling nakal. “Dari tadi matanya meleng ke kanan melulu.”

“Euh—“

“Trina, kita duduk di sini aja yuk.”

Itulah dilemaku. Kak Samuel udah punya pacar. Buruknya lagi, aku kenal sama Trina, pacarnya—dia sepupu jauhku dari pihak Pa. Lucky bastard!

“Kakak berdua aja?” tanyaku basa-basi, setelah mereka duduk di depan kami. Hari Jumat adalah hari baju bebas di VIS. Hari untuk pamer baju paling keren. Katrina—nama panjangnya Trina—mengenakan atasan garis-garis model sailor yang kukenali berasal dari koleksi spring/summer Gucci tahun ini, skinny jeans, dan ankle boots Louis Vuitton beraksen pita di belakangnya. Very gorgeous and make me hate her even more—ugh!

“He-eh.”

Dengan agak kasar, Trina menghempaskan handbag Alexander McQueen-nya ke atas meja. Aku sikut-sikutan sama Is. Tau deh yang tas baru....

“Menunya nggak terlalu ‘nendang’ ya?” katanya, menatap makanan di tray-nya dengan muka ilfil. “Nggak spicy nih salmonnya.”

Aku nggak berkomentar. Kak Samuel juga nggak. Kayaknya, udah biasa deh ngeliat Trina komplain soal apa pun. Dia memang tipe pengeluh, mengira dia itu orang paling malang sebumi Indonesia ini. Kedengarannya nggak masuk akal, tapi ini true story. Tak peduli orang melihat kehidupannya sejahtera dan kelewat mewah, adaaa aja yang jadi bahan agoninya. Yang Olla Ramlan ngeduluin dia bikin signature perfume lah (yeee, siapa elo?!), yang Rashi make bustier Dior mirip sama yang dia beli kemarin lah, yang anak-anak di kelasnya nyontek gaya berpakaiannya lah.

Unbelievable! Nggak nyangka cowok perfect dan sensitif kayak Kak Samuel bisa terjerumus sama airhead nggak penting kayak orang ini.

Sadar nggak bisa nyembunyiin rasa muak yang menggantung di wajah, aku buru-buru bangkit dari kursi dan pamitan mo ngambil air minum. Is kayaknya pengen ikut, tapi ketahan sama tangan Trina yang lagi mengagumi kalung etnik di lehernya. “Lucu,” pujinya singkat. “Siapa desainernya?”

“Euh, beli pas pameran kriya di JCC.”

“Made by nobody? Ew!”


Aku ketawa ngikik aja. Poor Is.

Saat itulah hal tak disangka-sangka terjadi. Tahu-tahu aja aku terjatuh dengan posisi wajahku nyaris mencium lantai. Nggak gitu jelas kenapa, tapi pas jalan tadi, kayaknya aku kesandung sesuatu. Ato ada yang sengaja bikin aku jatuh? Siapa?

“Kamu nggak pa-pa?”

Dengan gampangnya, tangan itu mengangkatku dari lantai. Aku berbalik untuk melihat siapa pahlawanku.

“Sori kakiku kepanjangan, nggak nyaman ditekuk di bawah meja. Makanya aku keluarin dan... euh, kamu malah jadi korban—“

Dia masih minta maaf entah soal apa lagi. Aku nggak terlalu ngeh. Kepalaku seperti kosong. Cowok freak, cuman itu yang melompat-lompat di dalam otakku sekarang. Cowok yang menjegal dan menolongku juga adalah cowok sama yang aku omongin belakangan ini.

“Aku cari Betadine dulu ya?”

“Nggak usah! Nggak usah!” tolakku cepat.

“Lo baik-baik aja kan, Ta?” Suara Is terdengar toa banget di belakangku. Aku menoleh dan melihat Kak Samuel juga ikut menghampiriku. Senangnya....

“Maaf banget ya.” Muka si freak melas banget. Sempat bikin nggak tega. Tapi—

“Alah, luka dikit gitu doang. Besok juga udah sembuh.”

Aku spontan menggeram. Maria brengsek! Aku nyaris lupa si jalang itu masih duduk semeja dengan si freak.