GAGASMEDIA OFFICIAL WEBSITE AND BLOG »

Monday, January 3, 2011

SUGAR SUGAR Bagian 7

Aku subscribe GlamTeen dah sejak junior high. Kind of hardcore fan of this magazine, actually. Terutama halaman modenya, ugh, I learn it religiously. Shorts out, shorts in. Rambut lurus out, rambut lurus in. Semuanya aku ikutin tanpa pikir dua kali lipat.

Dan so far, nggak pernah ada yang komplain tentang gaya berpakaianku. Meskipun nggak semuanya bermerek (sometimes I love shopping at flea market like Pasar Senen), aku selalu terlihat ah-dorable. Gaya formal, oke. Gaya non formal, lebih oke lagi.

Tapi lihatlah aku sekarang, si so-called-fashion-expert-almost-a-hall-of-famer-in-VIS-history. Berdiri bengong di depan cermin seluruh badan, dengan tumpukan baju di tangan kiri dan kanan. Bingung mo pake baju apa.

Padahal jelas-jelas ini cuman study group—boongan lagi. Itu dia aku herannya, nggak penting tapi malah dipikirin. Apa mungkin karena faktor Leon itu lumayan cute?

NO!

Jangan ke-distract, Ta, kataku pada diriku sendiri. Fokus hanya ke Kak Samuel aja.

Aku manggut-manggut sendiri. Iya. Cute bukan alasan kuat buat menyukai cowok itu. Selain itu, helloooo, masih cakepan Kak Samuel kan ke mana-mana. Koreksi, almost God-like.

Kesadaran baru itu pun membuatku nge-cut acara dilema-dilema nggak penting itu dan mengambil dua item pakaian yang kuanggap paling oke buat aktivitas santai: kaus boatneck dengan aksen pita besar di bahu sebelah kiri dan rok jeans. Aku juga nggak terlalu milih-milih buatnyari sepatu dan tas padanannya. Just the plain flat shoes and a L.A.M.B tote.

Black Widow dah setuju aku ikut study group. Nggak terlalu susah kok ngelakuinnya. I mean, Mum bahkan terlihat nggak peduli. Waktu itu, dia lagi kedatangan tamu, pedagang berlian langganannya. Malika Halimjaya itu dah terkenal banget sama usaha perhiasannya, especially karena dia bisa ngedapetin segala jenis batu berharga—legal maupun nggak. Kayak yang lagi ditawain ke mamaku itu tuh, ‘konon’ terbuat dari batu berlian yang diselundupkan dari salah satu negara di Afrika. Gawd!

Yah, karena setengah mendengarkan, Mum bilang iya-iya aja waktu aku cerita soal rencana ber-study group ria sama si CF. Sempet curiga sih—dikit, tapi lebih karena dia kira aku ada hubungan ‘spesial’ sama temen study group-ku itu. AS IF! Hatiku dah milik Kak Samuel, Mum!

Sip. Preparation is finally done. Make-up-ya yang natural aja. Aku sempat nyemprotin Dolly Girl-nya Anna Sui sebelum keluar kamar. Sekarang aku benar-benar ngerasa oke buat acara study group (yang kelak bakal dilanjutkan dengan kencan rahasia sama Kak Samuel).

Ahhh, senangnya!
*

Aku sampai di depan rumah CF—err, Leon maksudnya, sekitar pukul enam tiga puluh. Aku janji bakal ketemu sama Kak Samuel di kafe sekitar pukul delapan-ish. Cukuplah buat basa-basi nggak penting sama orang itu. Pas tadi di jalan, aku sempet nelepon Is, nanya dia dah di mana posisinya. Cewek itu nggak jelas sih jawab daerah mana persisnya, tapi katanya, “Udah dekat.”

Yang nyambut aku di depan pintu nggak lain nggak bukan adalah Leon seorang. Aku tersenyum ramah dan membiarkan dia mundur satu langkah supaya aku bisa masuk. Hm, tuan rumah yang baik.

“Is masih di jalan,” kataku.

BTW, pasti penasaran kan, gimana caraku bisa bikin Leon mau jadi anggota study group-ku? Easy pie. Aku sedikit merajuk tadi. Aku bilang, takut fail dan bikin orangtuaku kecewa. Buat kalian sih mungkin ini terdengar nggak terlalu bikin trenyuh, tapi perlu diingat yak, Leon itu tipe pintar. Lebih detail lagi, si pintar yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Biasanya, orang kayak gini, langsung ‘meleleh’ kalo diminta bantuannya buat ngajarin pelajaran yang susah.

“Ya udah, masuk dulu aja.”

Dan waktu dia bilang ‘masuk’ itu, aku kira menunggu di ruang tamu—kayak orang-orang bertamu lainnya. Nggak tuh. Dia bahkan nggak membiarkan aku ngeliat-liat baby picture-nya dia yang digantung di ruang tamunya. Dia menyuruhku mengikuti langkahnya menuju lantai tiga.

Seperti dugaanku, ruangan itu penuh buku. Ketiga sisi ruangan hampir ditutupi rak buku besar yang memuat koleksi buku-buku hardcover. Berani taruhan, beberapa pasti ada yang bahkan lebih tua dari umur kemerdekaan Indonesia. Not interested at all.
Leon menyuruhku duduk di salah satu beanbag di atas karpet. “Mo minum apa?” tanyanya lagi.

“Apa aja.”

Jujur, aku sebenarnya nggak minat buat ngapa-ngapain di… tempat ini. Buruan dong setengah delapannya, biar aku bisa buru-buru cabut buat ketemu Kak Samuel tersayang.

“Biskuit?”

Aku menggeleng.

“Homemade lho.”

Aku diam aja.

“Bawa apa aja. Gue gak milih-milih kok,” kataku sambil tersenyum manis.

Leon kembali dua menit kemudian. Bawa dua kaleng softdrink dingin dan… kacang. WTF?! Dikiranya kami lagi nonton sepak bola apa?

“Gue yakin cewek kayak lo sukanya yang Diet.” Dia menyodorkan Diet Coke buatku, yang kuambil tanpa ngomong apa-apa. Leon duduk di beanbag satu lagi, membuka softdrink-nya sendiri, lalu menyesapnya sedikit.

Lalu diam. Aku juga nggak ada minat buat ngomong sepatah kata pun ke dia.

“So…,” sepertinya dia mencoba mencari bahan percakapan, “how’s life?”

Aku angkat bahu. “Begitu-begitu aja. Nothing’s special.”

Diam lagi. Dan kali ini lebih lama daripada biasanya. Aku melirik ke jam dinding di atas CD player Bang & Olufsen. What?! Aku baru lima belas menit doang di sini?! Kok rasanya dah kayak sepuluh tahunan yak!

Aku menoleh ke arahnya dan mendapati cowok itu juga menatap ke arahku. Saling tersenyum garing. Lalu…, hening.

Aku melirik ke jam dinding lagi. Shit, baru lima belas menit lewat sepuluh detik. Nggak ngaruh juga! Is, buruan datang napa, rengekku dalam hati. Dah garing mampus nih!

SUGAR SUGAR Bagian 7

Aku subscribe GlamTeen dah sejak junior high. Kind of hardcore fan of this magazine, actually. Terutama halaman modenya, ugh, I learn it religiously. Shorts out, shorts in. Rambut lurus out, rambut lurus in. Semuanya aku ikutin tanpa pikir dua kali lipat.


Dan so far, nggak pernah ada yang komplain tentang gaya berpakaianku. Meskipun nggak semuanya bermerek (sometimes I love shopping at flea market like Pasar Senen), aku selalu terlihat ah-dorable. Gaya formal, oke. Gaya non formal, lebih oke lagi.


Tapi lihatlah aku sekarang, si so-called-fashion-expert-almost-a-hall-of-famer-in-VIS-history. Berdiri bengong di depan cermin seluruh badan, dengan tumpukan baju di tangan kiri dan kanan. Bingung mo pake baju apa.


Padahal jelas-jelas ini cuman study group—boongan lagi. Itu dia aku herannya, nggak penting tapi malah dipikirin. Apa mungkin karena faktor Leon itu lumayan cute?


NO!



Jangan ke-distract, Ta, kataku pada diriku sendiri. Fokus hanya ke Kak Samuel aja.


Aku manggut-manggut sendiri. Iya. Cute bukan alasan kuat buat menyukai cowok itu. Selain itu, helloooo, masih cakepan Kak Samuel kan ke mana-mana. Koreksi, almost God-like.


Kesadaran baru itu pun membuatku nge-cut acara dilema-dilema nggak penting itu dan mengambil dua item pakaian yang kuanggap paling oke buat aktivitas santai: kaus boatneck dengan aksen pita besar di bahu sebelah kiri dan rok jeans. Aku juga nggak terlalu milih-milih buatnyari sepatu dan tas padanannya. Just the plain flat shoes and a L.A.M.B tote.


Black Widow dah setuju aku ikut study group. Nggak terlalu susah kok ngelakuinnya. I mean, Mum bahkan terlihat nggak peduli. Waktu itu, dia lagi kedatangan tamu, pedagang berlian langganannya. Malika Halimjaya itu dah terkenal banget sama usaha perhiasannya, especially karena dia bisa ngedapetin segala jenis batu berharga—legal maupun nggak. Kayak yang lagi ditawain ke mamaku itu tuh, ‘konon’ terbuat dari batu berlian yang diselundupkan dari salah satu negara di Afrika. Gawd!


Yah, karena setengah mendengarkan, Mum bilang iya-iya aja waktu aku cerita soal rencana ber-study group ria sama si CF. Sempet curiga sih—dikit, tapi lebih karena dia kira aku ada hubungan ‘spesial’ sama temen study group-ku itu. AS IF! Hatiku dah milik Kak Samuel, Mum!


Sip. Preparation is finally done. Make-up-ya yang natural aja. Aku sempat nyemprotin Dolly Girl-nya Anna Sui sebelum keluar kamar. Sekarang aku benar-benar ngerasa oke buat acara study group (yang kelak bakal dilanjutkan dengan kencan rahasia sama Kak Samuel).

Ahhh, senangnya!

*

Aku sampai di depan rumah CF—err, Leon maksudnya, sekitar pukul enam tiga puluh. Aku janji bakal ketemu sama Kak Samuel di kafe sekitar pukul delapan-ish. Cukuplah buat basa-basi nggak penting sama orang itu. Pas tadi di jalan, aku sempet nelepon Is, nanya dia dah di mana posisinya. Cewek itu nggak jelas sih jawab daerah mana persisnya, tapi katanya, “Udah dekat.”

Yang nyambut aku di depan pintu nggak lain nggak bukan adalah Leon seorang. Aku tersenyum ramah dan membiarkan dia mundur satu langkah supaya aku bisa masuk. Hm, tuan rumah yang baik.

“Is masih di jalan,” kataku.

BTW, pasti penasaran kan, gimana caraku bisa bikin Leon mau jadi anggota study group-ku? Easy pie. Aku sedikit merajuk tadi. Aku bilang, takut fail dan bikin orangtuaku kecewa. Buat kalian sih mungkin ini terdengar nggak terlalu bikin trenyuh, tapi perlu diingat yak, Leon itu tipe pintar. Lebih detail lagi, si pintar yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Biasanya, orang kayak gini, langsung ‘meleleh’ kalo diminta bantuannya buat ngajarin pelajaran yang susah.

“Ya udah, masuk dulu aja.”

Dan waktu dia bilang ‘masuk’ itu, aku kira menunggu di ruang tamu—kayak orang-orang bertamu lainnya. Nggak tuh. Dia bahkan nggak membiarkan aku ngeliat-liat baby picture-nya dia yang digantung di ruang tamunya. Dia menyuruhku mengikuti langkahnya menuju lantai tiga.

Seperti dugaanku, ruangan itu penuh buku. Ketiga sisi ruangan hampir ditutupi rak buku besar yang memuat koleksi buku-buku hardcover. Berani taruhan, beberapa pasti ada yang bahkan lebih tua dari umur kemerdekaan Indonesia. Not interested at all.
Leon menyuruhku duduk di salah satu beanbag di atas karpet. “Mo minum apa?” tanyanya lagi.

“Apa aja.”

Jujur, aku sebenarnya nggak minat buat ngapa-ngapain di… tempat ini. Buruan dong setengah delapannya, biar aku bisa buru-buru cabut buat ketemu Kak Samuel tersayang.

“Biskuit?”

Aku menggeleng.

Homemade lho.”

Aku diam aja.

“Bawa apa aja. Gue gak milih-milih kok,” kataku sambil tersenyum manis.

Leon kembali dua menit kemudian. Bawa dua kaleng softdrink dingin dan… kacang. WTF?! Dikiranya kami lagi nonton sepak bola apa?

“Gue yakin cewek kayak lo sukanya yang Diet.” Dia menyodorkan Diet Coke buatku, yang kuambil tanpa ngomong apa-apa. Leon duduk di beanbag satu lagi, membuka softdrink-nya sendiri, lalu menyesapnya sedikit.

Lalu diam. Aku juga nggak ada minat buat ngomong sepatah kata pun ke dia.

“So…,” sepertinya dia mencoba mencari bahan percakapan, “how’s life?”

Aku angkat bahu. “Begitu-begitu aja. Nothing’s special.”

Diam lagi. Dan kali ini lebih lama daripada biasanya. Aku melirik ke jam dinding di atas CD player Bang & Olufsen. What?! Aku baru lima belas menit doang di sini?! Kok rasanya dah kayak sepuluh tahunan yak!

Aku menoleh ke arahnya dan mendapati cowok itu juga menatap ke arahku. Saling tersenyum garing.

Lalu…, hening.

Aku melirik ke jam dinding lagi. Shit, baru lima belas menit lewat sepuluh detik. Nggak ngaruh juga! Is, buruan datang napa, rengekku dalam hati. Dah garing mampus nih!

Monday, August 23, 2010

SUGAR SUGAR (bagian 6)

SUGAR SUGAR (bagian 6)

**********************************************************************************
Notes: Sugar Sugar bagian 6 ini adalah hasil kolaborasi GG dengan pembaca Glam Girls yang oh-so-glamorous, Jenny Thalia Faurine.

Pengen seperti dia? Kirimkan lanjutan Sugar Sugar ke ggheadquarters@gmail.com.
**********************************************************************************




Life is beautiful—that’s for sure.

Dan lebih indah lagi karena otakku menemukan ide yang dijamin nggak bakalan gagal. Siapa sangka, kegeniusanku muncul justru untuk hal-hal seperti ini. Seandainya flirting sama cowok masuk kurikulum VIS, kurasa nilaiku nggak jeblok-jeblok amat kayak sekarang.

Sampai di mana kita tadi? Ah ya, harus cerita sama Is.

Aku menemukan cewek itu sedang bersantai di VisCaf, dengan majalah GlamTeen di hadapannya dan tropical shake—minuman baru di Fresh!—di tangan kanannya. Fyi, aku pernah nyoba minuman baru itu—eww! Minuman tergagal kedua setelah jus manggis Thailand yang diperkenalkan Fresh! di daftar menunya beberapa bulan lalu.

Tepukan pelanku di bahunya spontan membuat Is terlonjak di kursinya. Anting chandelier-nya berdenting pelan karenanya.

Please, Dahling… Scream 4 mo rilis sebentar lagi. Tadi gue kira lo itu si pembunuh bertopeng.”

Aku memutar bola mata. Movie freak dan drama queen—kombinasi karakter yang bertumbuh kembang menjadi sahabatku itu. But, fact is always stranger than fiction. Dan dalam hal ini, Is juga sama. In a good way.

“Gue tahu siapa kandidat terbaik buat rencana kita.”

Keningnya berkerut. “Siapa? Siapa?”

“Si cowok freak!”

Is butuh sepersekian menit untuk mencerna jawabanku. “Freak who?

Aku lalu cerita soal insiden tabrakan, plus clue kalo cowok itu digelendotin Maria the slut. Is manggut-manggut meyakinkan, tapi aku tahu dia nggak inget-inget amat. Baru deh setelah aku bilang soal pertemuanku sama si CF (baca: Cowok Freak) di fashion show Strange Fruit, Is pun ngeh.

“JANGAN BILANG DIA YANG LO MAKSUD COWOK FREAK!”

D’oh! Bukannya kita berdua sama-sama setuju nyebut dia begitu?” Aku geleng-geleng kepala.

That cute boy has a name, you know.”

WHAT?! Pernyataan absud macam apa ini?! Aku nggak salah denger kan Is bilang si CF cute. CUTE! Like, cute-cute.

Oke. Aku nggak tahu 'sureal' itu apa, tapi kurasa bisa dipake untuk menjelaskan ketidakmasukakalan situasi ini.

He is so not cute!” kataku, yang seratus sembilan puluh persen boong. Jauh di dalam diriku—JAUHHHH banget pokoknya—aku memang mengakui CF lumayan cakep. Tapi, tetep aja, itu bukan sesuatu yang bisa aku ucapkan secara lantang—di tengah-tengah kantin pula. Pas lagi banyak orang begini!

Hellowww, hatiku kan buat Kak Samuel seorang?!

“Plus, emangnya lo tau namanya?” Hidungku berjengit. “Lo kenalan sama dia?!”
Dia membuka majalah GlamTeen di atas meja. Tepat di bagian fashion spread, yang ada Gayatrinya (yang tahun lalu bikin heboh satu sekolahan dengan menjadi finalis Face of the Glam). Cowok itu—ARGGGGHH, COWOK ITU!!! Dia ada di GlamTeen?!


(halaman ini)
SAVE HORSES, RIDE THE COWBOY

Hidupkan gaya western yang timeless dengan ankle booties dan terusan putih yang oh-so-chic!

(Gayatri) maxi dress, Topshop; vest, Miss Selfridge; ankle boots, Rococo.
(Napoleon) kemeja putih, Banana Republic; khaki pants, GAP; shoes & straw hat, model’s own.


“Namanya Napoleon? Oh Gawd… cupu banget!”
“Panggilannya Leon,” kata Is, tetap dengan muka datar. Tiba-tiba aku merasa berada di kubu yang berbeda dengan sahabatku itu. “Dan gue sebenarnya nggak setuju kalo lo manfaatin dia demi nge-cover rencana nge-date lo sama Kak Samu.”

“Lo suka sama dia?”

Is terdiam sebelum menjawab, “Nggak sih.”

“Terus? Kenapa moralitas lo muncul di saat gue lagi terjepit kayak gini? Lo tahu kan, Is, mungkin inilah satu-satunya kesempatan gue bisa deket sama Kak Samu. Cewek-cewek senior kita pasti dah kayak burung nazar menunggu giliran menggoda kakak tersayang gue itu. Gue harus cepet!”

“Oke, oke. Tapi janji ya, ini pertama dan terakhir kalinya lo manfaatin Leon.”
Aku mengangguk, tapi menyilangkan jari di belakang punggung. Sori, Is. Aku nggak bisa menjanjikan hal sebesar itu.

Long story short, urusan sama Is beres. Sekarang tinggal meyakinkan my black widow Mom supaya merestui ‘study group’ ini. All I have to do is call….

Wednesday, July 14, 2010

GG's Untitled Project

Hola, Girls!

Tahun depan, bakal ada serial baru yang sementara masih berjudul "GG's Untitled Project". Masih belum tahu apakah bakal jadi bagian dari Glam Girls Series atau dikeluarkan sebagai serial yang mandiri. Tapi yang jelas, tetap fabulous!

Doain semoga konsepnya di-approve di rapat redaksi ya.

Heart ya (ain't I always?),

GG

Tuesday, June 15, 2010

SUGAR SUGAR (bagian 5)

Tau Doppelgänger?

Itu lho, hantu yang persis kopianmu. I honestly don’t buy that shit—puhleez, aku nggak se-superstitious itu kaleee—tapi sekarang, aku malah berharap mitos itu beneran ada. It would be nice to help me out of this situation. Si Doppel biar sama Mrs. Black Widow aja, pergi ke party-nya Tante Kwanda. Aku sih OGAH!

Seperti remaja pada umumnya, aku harus memperjuangkan cintaku dong. Apalagi ini Kak Samu. KAK SAMU, my one and only person that has a permanent resident in my heart. Cowok yang bakal jadi ayah anak-anakku kelak. Cowok yang—ah, you know what I mean.

Dan satu lagi alasan aku HARUS sama-sama Kak Samu malem ini: dia dalam situasi rapuh. Meskipun yang mutusin itu Kak Samu, jelas banget kehilangan pacar (yang jujur nggak worthy-worthy amat diperjuangkan) adalah momen paling menyakitkan. Bayangin aja lagu ‘Rapuh’-nya, er, siapa itu… cowok yang suka pake top hat itu? Damn, inilah susahnya kalo nggak terlalu channeling lagu Indo. Makanya, aku nggak pernah minat ikutan acara tebak-tebakan lirik lagu indo macam Happy Song.

….

Oke, tadi kita ngomong apa ya? Oh ya, Kak Samu dan kerapuhannya. Yeah… bottom line is, cowok rapuh dan sedang berduka seperti my future hubby itu nggak boleh berkeliaran di depan umum. Cowok kayak gitu paling gampang digoda, buruknya lagi… gampang luluh sama perhatian dari cewek lain. Uh-oh, that’s not gonna happen. Cewek-cewek di Starbucks itu boleh nyari korban lain malam ini. The boy is mine.

MINE!

Tapi… kembali ke masalah awal, gimana caranya kabur dari tanggung jawab nemenin Mama?

*garuk-garuk kepala, IQ 100 pas ternyata nggak cukup ‘nendang’ buat mikirin hal-hal penting bin urgen kayak gini. Cih!*

*

Time flies fast when you're in HUGE dilemma.

Nggak terasa udah jam makan siang. Setelah membereskan buku-buku dan alat tulis, aku menggandeng tangan Is dan kabur ke VisCaf. Tiba-tiba aja aku mood buat sesuatu yang organik kayak jus orange-mango-nya Fresh!

Pas ngantre, aku cerita aja soal dilema hidup du jour-ku ini ke Is. Seperti dugaanku, Is cuman bisa nyumbang manggut-manggut dan muka simpatik—tapi bukan solusi.

What should I do?” tanyaku dengan ekspresi minta dikasihani yang berlebihan. I know, I know, pertanyaanku ini bodoh banget dan teramat sia-sia. Is is a good friend, jangan salah. Dia punya kemampuan ultrafabulous dalam me-mix and match-kan baju. Soal gosip, ugh lebih gila lagi. Channel-nya nggak kalah hebat sama Sundari/Sundae, si wannabe nggak jelas temennya Mindy. Tapi soal beginian—dan hal-hal penting dalam hidup… kayak mo ngelanjutin ke mana setelah lulus SMU nanti—jelas bukan job desk-nya Departemen Is.
Is diem aja. Membayar jusnya (orange-apple with a hint of mint—in case kamu penasaran) seolah aku ini nggak ada di sebelahnya.

“Menurut gue sih, lo mending sama Kak Samu aja.”

Duh!

I know, rite?” Aku manggut-manggut. “Tapi gimana caranya nih ngeles dari Black Widow?” Selain aku—dan Tuhan—Is-lah satu-satunya orang yang tahu aku kadang-kadang manggil mamaku sendiri dengan sebutan itu. It’s sooo not child of the year material, I know, tapi mengingat mamaku juga nggak kayak ibu di Brady Bunch… ya udahlah ya.

“Lo bisa bilang malem ini harus kerja kelompok ato apa gitu.”

“Sama siapa kerja kelompoknya?” Aku menarik alisku sebelah. “Elo? Boro-boro Black Widow, eike aja nggak percaya KITA study group material.”

Is nyengir malu. “Hehe, iya juga sih. Terus gimana dong?”

“Oke. Kalo lo bukan kandidat belajar kelompok yang meyakinkan, gue harus nyari orang lain. Someone yang punya kualitas nerdy cukup—nggak, nggak. Lebih oke lagi kalo dia anak scholarship yang, hello, kita semua tahu kan kalo nggak gara-gara beasiswa, nggak mungkin kali mampu sekolah di Voltaire.”

GASP!

Kalo aku pinteran dikit, kayak Archimedes, aku pasti dah teriak, ‘EUREKA!’ sejak tadi.

Aku tahu. Cuman satu orang yang terpikir di kepalaku, nge-plop kayak halaman buku cerita anak-anak model pop up. Orang yang aku butuhkan… SI FREAK!

Ehem, tapi sebelum ngemis-ngemis bantuannya, kayaknya penting buat tahu nama dia yang sebenarnya deh.

Thursday, May 20, 2010

SUGAR SUGAR (bagian 4)

Actually, I’m not feeling really well today. Terlalu excited ternyata berakibat buruk buat kesehatan. Bikin jadi susah tidur dan ujung-ujungnya begadang sampe pukul 4 pagi… main Sims 3. Tadi, begitu selesai mandi, langsung ke kaca di depan wastafel. Shoot! Mataku kuyu banget—more like a pathetic look than come-straight-fron-bed look.

Sigh.

Tadi sempet BBM-an sama Is, katanya dia dianter sama sopir mamanya hari ini. Yah, terpaksa deh hari ini berangkatnya sendirian aja.

“Tatiana!”

Aku menoleh pelan, nggak bersemangat. Dalam hati, aku mengira mama masih mau mengungkit soal Gordon Ramsay (yang ternyata lebih berharga daripada telunjuk anaknya yang berdarah dikit kena pecahan cangkir) lagi. Ternyata nggak. Cuman nanya, tadi dah sarapan ato belon. Aku bilang aja udah.

“Oh ya, ngomong-ngomong, malam ini temenin Mama ke resepsi nikahan anaknya Tante Kwanda ya?” Tante Kwanda adalah temen baik Mama sejak masih duduk di bangku kuliah. Aku pernah ditunjukin foto-foto mereka waktu masih muda dulu. They shared same bad hair-do, wore miniskirts and smokey eyes. Ick banget dah pokoknya.

“Ma, masa ke party-nya sampe dua malam berturut-turut sih?” Aku melengos. “Even a dancing queen needs her beauty rest.”

“jadi anak jangan banyak ngebantah deh.”

Aku manyun. Mama pura-pura nggak liat dan langsung mencium pipiku. Isyarat supaya cepet pergi tuh, maksudnya. Sambil mengelap residu lipstik Mama yang ketinggalan di pipiku, aku berpikir, Mama tumben banget dah rapi jam segini. Ada angin apa?


Aku berangkat ke Voltaire dengan Volvo, sendirian. Mama, BMW, dan sopir pribadinya keluar lebih dulu dari areal rumah. Belakangan, Mama bilang dia mau ke butik langganan dulu buat fitting kebaya yang dipesannya beberapa waktu lalu. Aku basa basi bilang aja, salam buat Mas Tyo—nama desainer kesayangan Mama itu.

Begitu buka pintu dan pertama kalinya menginjakkan kaki kananku di areal parkiran, aku mendadak menguap. Shit. Tanda-tandanya udah mulai kelihatan nih. Kayaknya bakal terus begini deh sampe pukul sepuluhan. Aduh mampus, jangan sampe ketiduran di kelas. Kalo ketahuan kan bakal MALU banget—

Saat itulah soliloqui-ku yang berjudul Drama Queen Ngantuk mendadak terhenti, digantikan debar jantung nggak semestinya. Semua itu gara-gara si Freak lewat. Pake senyum, plus lambaian tangan langsung ke arahku.

Akh!

Kenapa sih aku malah tersipu-sipu karena cowok lain di saat Kak Samuel, cowok yang masuk wishlist-ku di setiap malam Natal, jelas-jelas lagi available. Nganggur minta dipacari. Kenapa, God, kenapa?

Aku agak menunggu sampe si Freak hilang dari pandangan. Nggak. Aku nggak mau berakhir kayak Maria dan cewek-cewek tolol lain yang seneng berkerumun di sekitar mejanya setiap jam makan siang. Ikh, so not me. Aku suka Kak Samuel. Hanya Kak Samuel. The one and only.

….

Ya, the one and only.

I hope so.

*

Jam pertama: English.

Aku melirik kiri-kanan dan nggak menemukan Is di mana-mana. Ke mana ya tuh orang? Padahal katanya berangkat duluan.

Tiba-tiba sekelebat bayangan adegan sinetron murahan (yang, I swear to God and Marilyn Monroe, nggak sengaja ketonton pas lagi main-main remote milih channel, kali aja lagi nayangin acara oke) dengan drama kecelakaan, diculik orang, dan semacamnya. Is… nggak kena musibah kayak gitu kan?

Oke. Sekarang aku bener-bener khawatir. Ditelepon aja deh.

Tuuut…. Tuuut….


“Halo?”

“Halo, Is, lo di mana?!”

“Bo! Sopir gue ditilang aja gituh. Bakal telat.”

“Owh, shit! Sial banget lo.”

“Duh!” Is menarik napas panjang. “Akhirnya, beres juga. Udah ya, Ta, gue naik ke mobil lagi. Udah damai soalnya.”

“Tapi lo nggak pa-pa kan?”

“Nggak pa-pa gimana? Jelas-jelas gue mo marrrah banget sama sopir gue. Dah dulu ya!”

“Kay.”

Ya ampun, morning drama. Nggak nyangka.

Bahuku tiba-tiba ditepuk dari belakang dan bikin aku terlonjak di kursiku. Saat berbalik, dan kemudian mengenali siapa pelakunya, aku bingung antara mo marah ato seneng. Kak Samu, bo, soalnya.

“Eh, Kakak…,” suaraku mendadak sehalus beledu. “Tumben nyariin sampe ke kelas.”

“Iseng aja.” Diam. Mukanya kayak suntuk banget. Yay! Berarti beneran putus! Is emang top nih sumber gosipnya. Bener-bener bisa dipercaya!

Something’s wrong?” tanyaku, cepet-cepet menghapus tanda-tanda kegembiraan dari wajahku.

“Nggak. Lagi bete aja.” Diam lagi. “Udah tahu… gue sama Trina dah putus?”

“Masa?” kataku, pura-pura shock.

“He-eh. Kemarin.”

Kak Samuel lalu cerita kronologis putusnya—nggak beda sih sama yang diceritakan Is semalam. Trina diputusin karena terlalu—duh, obvious banget gitu lohhh—high maintenance. Belum lagi kesukaannya party. Seminggu bisa sampe empat kali dia party. Padahal masih hari sekolah. “Party mulu. Kapan belajarnya?”

Aku manggut-manggut ngerti. Keluhannya persis omelanku ke Mama tadi pagi. Oke, minus bagian belajarnya ya, cos I’m really not that nerdy. Aku cuman orang yang kebetulan memilih di rumah aja ketimbang berkeliaran di luaran. Aku lebih seneng nonton TV ato berendam di bathtub sambil baca GlamTeen terbaru. Dan firasatku bilang Kak Samu nggak jauh beda denganku.

That’s why we are so MEANT TO BE.

“Aku bisa bantu apa…,” aku tersenyum semanis yang aku bisa, “biar Kakak nggak bete lagi?”

Kak Samu membalas senyumanku. Nggak lepas sih, tapi lumayan lah buat langkah awal. “kayaknya sih nggak ada. Time will heal, I guess.”

Aku manggut-manggut menyembunyikan kekecewaan.

Tapi setelah itu Kak Samu bilang lagi, “Tapi kalo kamu mau nemenin aku, err, sekadar ngopi sambil ngobrol-ngobrol, I'll appreciate it. Aku butuh nyibukin diri biar nggak kepikiran 'dia.'"

“Kkkkapan?”

Kak Samu menatapku penuh harap. “Malam ini?”

Shit.

Tuesday, April 20, 2010

SUGAR SUGAR (bagian 3)

Pardonnez-moi, Dahling… tapi aku bener-bener shock nih. Baru sekali ini aku ketemu orang miski—euh, maksudnya, anak scholarship. Bukannya aku nggak tahu mereka ada ya… cuman, ng, aku memilih untuk pura-pura nggak tahu aja. Sama kayak salamander—hayo, berapa banyak kalian yang ngeh spesies makhluk jelek ini nyaris (ato mungkin beneran udah) punah? Tunjuk tangan dong… nggak banyak kan?

*tersenyum penuh kemenangan*

So… does it work? I mean… dengan kerja sebagai model, emangnya bantu banget ya buat nutupin semua pengeluaran lo?”

Well, sejauh ini sih gue nggak pernah lagi nadahin tangan ke bokap-nyokap buat sekadar jajan ato beli buku.”

Awww…. Nggak bisa! Aku berusaha keras nahan air mukaku sewajar mungkin tapi tetep nggak bisa. Gimana coba aku nggak kasihan sama ceritanya yang menyayat hati itu? Sama kayak waktu ngeliat muka anak-anak cewek di homeroom-ku yang melas banget waktu ngeliat dompet kulit Vivienne Westwood-ku dan Is yang oh-so-limited edition. Belinya aja pake nitip sodara Is yang shopping trip ke Jepang.

Aku pengen ngomong sesuatu—apalah, pokoknya yang bisa membesarkan hati cowok ini (yang btw, nggak juga aku tahu nama lengkapnya), eh dia malah keburu cabs. “Eh, gue ke sana dulu ya.”

“Ke mana?”

Dia kayaknya nggak denger dan langsung main ngibrit aja. Kecewa.

*

Sekitar setengah dua belasan aku dan Mama tiba di apartemen. Berbeda dengan aku yang langsung membungkuk dan menyambut eongan Louboutin (biar nggak ribet, manggilnya Lou aja), kucing persia keluarga. Mama menjatuhkan tubuh model thin-nya di atas sofa dan melemparkan begitu saja clutch Guess-nya di atas meja kopi. “Mama capek,” keluhnya sambil memijat tumit kakinya yang disiksa mampus sama Manolo perak-emasnya. “Kamu bikinin Mama teh dong.”

“Aduh, Tatiana juga capek kali, Ma….” Nggak ada tanda-tanda kasihan dari arah sofa. Sigh. “Ya udah, entar dibikinin. Tapi lima menit lagi.”

Sambil memeluk tubuh Lou erat-erat, lagi-lagi aku kepikiran si freak a.k.a model scholarship di fashion show Strange Fruit tadi. Bukannya suka ato gimana sih…. Oke, tarolah mungkin SUKA (puas?!), tapi… euh he’s really not my type. Cowok yang harus bolak-balik runway demi beli baju baru jelas sekali bukan spesies cowok yang pengen aku pacari.

I’m a princess… so I need a prince.

Dan ya, meskipun princess ini lima menit kemudian diperbudak ibunya buat bikin teh, bukan berarti standarnya soal cowok lantas menurun drastis.

“Ta… teh!”

“Iya, iya.” Bawel, tambahku dalam hati.



Alkisah, my mum a.k.a The Black Widow pernah deket sama seorang desainer interior junior sebuah toko furnitur kelas atas. Brondong, dengan rambut di-wax mohawk kayak cowok-cowok twentysomething zaman sekarang. Bottom line is, ew.

Mama yang sedang dalam fase in love banget sama itu brondong, mau-mau aja seisi apartemen ini jadi kelinci percobaan. Furnitur kami yang serba elegan dan bergaya Queen Anne (all pink… my favourite) harus enyah! Black is the new black, katanya dengan bangga. Si Brondong mengubah rumah kami kayak sarang hantu Suzanna dengan wallpaper syerem warna hitam-bitu. Nggak banget, pokoknya.

Sekarang ngerti kan kenapa aku ogah banget bikinin Mama teh tengah malam bolong begini. Bener-bener nyeremin… mana si Brondong brengsek itu mati-matian ngerayu Mama buat majang bangkai gagak yang di air keras di rak tepat di atas kaca wastafel. “Terinspirasi Edgar Allan Poe,” katanya dengan bangga. Edgar Allan Poop, kalo menurutku sih!

Tanganku meraba-raba cabinet di atas kepala untuk mencari sachet peach tea Dilmah ketika handphone-ku bergetar di dress. Aku memang lupa mengaktifkan ringtone-nya sejak acara fashion show tadi.

Oh, ternyata Is.

Wassup, Dahling….

“Lo ke mana aja sih, Cyiiin?! Gue neleponin lo sampe bego tau nggak?”

“Kan gue bilang lagi di Strange Fru—“

“Don’t care!”potongnya nyinyir. “Lo harus denger berita ini, ASAP! It’s about your cemceman, kak Samuel!”

“Kenapa dengan Kak Samu?”

Can I say, ‘ding dong the witch is dead and now your love of your life is purely single?’”

“SERIUS LO, CYIIIIN?!”

Saat itulah, ups—

PRANG!

“Tatiana! Apa yang pecah!!!”

Cangkir Royal Doulton edisi Gordon Ramsay Mama… euh, let say… nggak genap selusin lagi deh….

I am SO DEAD!