GAGASMEDIA OFFICIAL WEBSITE AND BLOG »

Tuesday, April 20, 2010

SUGAR SUGAR (bagian 2)

Strange Fruit Fashion Show

Mash-up lagu-lagu Lady GaGa mengiringi fashion show malam itu. Strange Fruit adalah brand lokal yang lagi hip dua-tiga tahun ini. Head designer-nya pernah bekerja buat rumah mode Balenciaga selama beberapa waktu. Lumayanlah sebagai penjamin kualitas baju-baju keluaran label ini.

Aku di sini bareng mamaku, janda multimiliuner kaya kebangsaan Inggris. Aku nggak merasa malu cerita soal itu, secara ya almarhum Alexander Cavanaugh II juga bukan ayah kandungku ini. Nama lengkap mamaku adalah Indira Rachmaniar Pribadi Sterling Cavanaugh. Yep, almarhum Papa Alex adalah suami ketiganya. Dan karena ketiga suami mama meninggal dunia semua, rumour said mama adalah black widow—a.k.a. janda berbahaya yang bakal bikin suaminya cepet meninggal. Aku, meskipun marah banget karena reputasi mamaku itu, memilih pura-pura nggak denger aja. Toh, nggak satu pun yang berani ngomong ke mama secara terang-terangan. Milihnya cara penakut—bergosip di belakang kami.

Mama pun sepertinya nggak peduli. Dia duduk dengan tenang di front row bersamaku, mengacuhkan beberapa pasang mata yang nggak tahu malu melirik langsung ke mamaku. Aku bisa mendengar suara bisik-bisik mereka meskipun nggak jelas ngomong apa. Pasti soal black widow itu deh—brengsek!

Mama menyikutku. Dia bilang, nggak usah peduliin orang-orang itu—tonton aja fashion show-nya. Aku mengangguk patuh. Sejurus kemudian, aku seperti terhipnosis pada pakaian yang dibawakan model-model saat berseliweran di atas catwalk. Tema Goth Glam dibawakan baik sekali oleh Strange Fruit. Ada kali lima-enam baju yang aku taksir berat di tempat. Ugh, kalo aja Mama berbaik hati ngebeliin satuuu aja dari baju-baju itu, aku janji nggak bakalan boros dalam beberapa bulan ke depan. Well, sort of.

Entah apa yang mendorongku mengangkat kepala dari buku program di tangan. Sosok memesona terlihat dalam balutan muscle tee berpayet-payet dan celana ketat dari kulit. Oke, mungkin nggak sememesona kedengarannya, but still… he’s hawt. Kombinasi glamrock superstar dan cowok yang sering kamu lihat di jalanan Harajuku.

Tapi tunggu-tunggu… kok orang itu kinda familiar. Kaki jenjangnya… mata teduh di balik pulasan eyeshadow berbentuk bintang (agak Lady GaGa-esque sih menurutku).

“Maaf banget ya.” Suara memelas itu tiba-tiba menggema di kepalaku seperti alarm pengingat. Oh my Gawd, si freak!!!

Aku memicingkan mata untuk memastikan nggak salah déjà vu. Aku sering begitu soalnya, salah mengenali orang yang biasanya berujung hal memalukan. Tapi entah kenapa intuisiku saja sampai meng-approve. Memang beneran si cowok freak. Cowok yang bikin aku alergi sejak pandangan pertama. Wow… nggak nyangka aja, ternyata dia punya sisi fabulous juga. A model. A MALE model.

Akhirnya aku mengerti juga kenapa cowok itu rame dikerubungi cewek-cewek. No wonder… model sih. Cewek-cewek fashionable kan seneng cowok cantik dan yang terlihat pinter ngerawat diri. Yang nyaman mengobrol tentang Louboutin seperti halnya mengobrol tentang hal-hal kasual yang terjadi di sekolah. Tipe cowok yang kujauhi.

Kak Samuel, meskipun luar biasa ganteng, nggak metroseksual kayak si freak.

Tapi… oke, mataku nggak putus-putusnya mengikuti langkah mantap cowok itu sampai menghilang ke backstage. Suka? Ugh, belum tentu. Penasaran? Pastinya. Meskipun saat ini aku masih dalam fase penyangkalan kelas berat, aku nggak bisa menutupi rasa tertarikku. Jarang-jarang lho kenal cowok model di dunia nyata. Oke, couple of. Tapi biasanya cowok-cowok model itu suka show off, entah namedropping nama selebritas terkenal atau sekadar membanggakan pekerjaan terakhirnya—ya runway lah, ya fashion spread majalah ternama lah, ya iklan produk lah. Gebetan Is ada tuh yang model—wek! Tingkat show off-nya sampe minta disemprot pake parfum aromaterapi biar tenangan dikit dan nggak usah kebanyakan membual soal kehebatan karier modelnya. Is juga ilfil, makanya setelah jalan seminggu, dia pura-pura buta setiap kali ngeliat nomor cowok itu muncul di layar ponselnya.

Reinaldy, desainer sekaligus temen baik Mama, keluar dari backstage diikuti model-model yang membawakan pakaian rancangannya. Kilatan blitz dan suara tepuk tangan mendominasi suasana. Aku ikut bertepuk tangan dan diam-diam berharap supaya cepet-cepet acara after show party. Dah bosen!
*

“What are you wearing, Tatiana?”
“Alexander McQueen and Sondra Roberts.”
“Sondra who?”
“Sondra Roberts, Dahling. She’s the new hot!”
“Oh.”


“Kompak banget ya sama mamanya. Deketan dong berdirinya… yaaa… so sweet!”
*diem aja, berusaha nggak mengurangi derajat bujur senyuman di wajah yang kupasang sejak setengah jam lalu*

“Nggak bareng pacar hari ini?”
“Ih, sok tahu,” *aku, dengan nada sok manja* “aku kan single seratus persen!”
*wartawan-wartawan itu ketawa aja—assholes!*

Begitu wartawan-wartawan itu perlahan menjauh, mama juga otomatis melonggarkan pelukannya padaku. Dia memang bukan tipe ibu-ibu yang senang pamer afeksi. Sebaliknya, dia nggak suka dengan fakta kalo aku yang udah high school ini adalah anaknya. Menurutku, my black widow mom nggak pengen kehadiranku merusak pasarannya.

Aku nggak marah dan malah mencari jalanku sendiri. Setelah menyambar segelas rum-coke dari tray seorang waiter, aku siap mingle sama orang-orang ini. Beberapa aku kenal baik, anak-anaknya masuk VIS juga kayak aku. Beberapa cowok melambaikan tangan ke arahku—pura-pura buta aja ah. Males banget digebet sama cowok kepala tiga.

Aku sembilan puluh tiga persen lupa sama fakta kalo si freak juga ada di pesta ini sampe mataku tertumbuk pada sosok ber-denim suit terlihat menyendiri di dekat piano. Matanya terpejam sementara kedua telinganya disumbat earphone iPod.

Jangan bilang aku Tatiana kalo aku bakal ngebiarin cowok itu seneng-seneng sendiri.

You're suppose enjoying the party,” kataku sambil mengguncnag bahunya lembut.

Si cowok freak terjaga seketika, menatapku dengan pandangan bego dan menggumamkan, “Eh?”

You're suppose enjoying the party,” ulangku.

I do.”

“Mojok-mojokan sendiri begini kamu bilang ‘menikmati pesta.’”

Dia tertawa. Aku baru menyadari, gigi depannya bercelah kayak Madonna.

“Kaki lo gimana?” Matanya tertuju langsung ke lututku.

“Baik-baik aja. Dah pake band-aid.”

“Baguslah.”

Diem-dieman dulu sementara.

So… you are a model huh?”

Cowok itu nggak bilang apa-apa.

“Udah berapa lama jadi model?” tanyaku lagi.

“Gue nggak berharap lo nyebar-nyebarin berita soal gue kerja modeling.”

Aku mengernyit. Nggak ngerti maksud ucapannya sama sekali.

“Modeling itu nggak… manly.”

Aku tertawa. “Lalu, kenapa tetap jadi model?”

I need the money.”

Aku terkejut dengan ucapannya. Need… money? Dia nggak berusaha merendah ato apa kan? “Lo nggak bermaksud nipu gue kan? Lo… butuh uang?” Aku ketawa. “You are VIS student, for Gawd sake! You have to be rich.”

Cowok itu menggosok-gosok hidungnya dengan punggung tangan. “Gue anak… scholarship.”

Oh.

My.

God
!

0 comments: