“Liat deh, liat deh... itu kan si freak yang kita omongin kemarin?”
Oke, sebelum kalian membayangkan yang nggak-nggak... cowok itu nggak freak-freak amat. He’s quite okay—cupu, tapi masih terbilang oke. Tingginya paling nggak selisih sepuluh sentimeter dari aku. Anak basket, wajarlah. Dan ganteng. Meskipun bukan tipeku (anak beasiswa nggak pernah masuk hitunganku), harus aku akui, aku lumayan mengerti kenapa selalu adaaaa aja cewek yang mampir di mejanya setiap lunch.
Hari ini, dua anak cheerleader (aku kenal salah satunya, Maria—the slut) yang duduk berseberangan dengannya di meja itu. Aku nggak gitu jelas mendengar percakapan mereka dari sini, tapi dilihat dari mata Maria dan temannya yang berbinar-binar gimana gitu kayaknya lumayan menarik.
Aku mendengus jijik.
“Mana?”
Aku memilih nggak melanjutkan pengamatanku lagi. Kubiarkan Is melihat sendiri cowok genit dan dua entourage-nya itu. Oh ya, ngomong-ngomong soal Is, nama lengkapnya Isabella. Yeah, kayak lagu imporan dari Malaysia itu. Dan tahun lalu, sempat tenar banget kan—sampai ada sinetronnya segala, malah. Is malu banget dan mewanti-wanti kita supaya brenti manggil dia dengan nama lengkap. “Is aja,” katanya dengan bangga, seolah-olah itu adalah solusi paling cerdas buat masalahnya. Menurutku sih nama panggilan itu tolol banget, tapi harus diakui lumayan catchy. Begitulah, sejak Januari 2010, dia resmi bernama Is.
“Anak kelas berapa sih, Ta?”
“Senior, Dahling. Kelas sebelas.” Aku juga tahunya baru-baru ini. Dari gosip, tentunya.
“Oh.” Is mengamat-amati cowok itu lagi sebelum bertanya,“Emang populer gitu ya orangnya?”
“Lo nanya gue? ‘Scuse me yaaa... di VIS ini, masih banyak cowok yang lebih keren dan lebih charming daripada nobody kayak... itu.”
“Name one.”
“Samuel?”
“Ah, alasannya terlalu personal.”
True, tapi aku nggak peduli sama sekali. Di mataku, Samuel itu nomor satu. Semua orang di sekolah ini nggak ada apa-apanya sama sekali. Cuma teri. Nggak penting. Dan mulutku bakalan berbusa-busa saking semangatnya menyebut satu per satu kelebihan cowok itu.
Samuel Raumanen adalah anak tunggal pemilik chain hotel yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Rumour said, nama bapaknya masuk dua puluh lima besar orang terkaya se-Indonesia. Kakak tirinya, Andanari, rajin wira-wiri di televisi sebagai presenter dan bintang sinetron. Dua tahun lalu, Mbak Anda menang MTV Movie Awards untuk aktingnya di film debut berjudul ‘Setengah Cinta’.
Enough 'bout his family. Kak Samuel menekuni seni lukis sejak usia 9 tahun. Lukisannya berkali-kali dipamerkan dan mendapat apresiasi bagus dari para kritikus. Udah gitu, dia juga jago main pianonya. Meskipun sekadar hobi aja, tapi penampilannya membawakan ‘Unchained Melody’ di charity night VIS mendapat encore satu menitan saking bagusnya. Artsy guy is more my type. Sensitif, lembut, romantis, dan—
“Here you are.”
Aku tergagap saat orang yang ada di pikiranku sejak tadi seperti melompat dan ‘hidup’ di hadapanku. Dan dia tersenyum. Rasanya aku meleleh seperti sundae murahan McD.
“K-k-kak Samu....” Suaraku nggak kooperatif banget, gemetaran saat hidungku menangkap samar aroma Bvlgari Blv dari tubuh cowok itu.
Kak Samuel tersenyum geli melihat reaksiku. “Hayo, lagi ngeliatin siapa?” katanya, mengerling nakal. “Dari tadi matanya meleng ke kanan melulu.”
“Euh—“
“Trina, kita duduk di sini aja yuk.”
Itulah dilemaku. Kak Samuel udah punya pacar. Buruknya lagi, aku kenal sama Trina, pacarnya—dia sepupu jauhku dari pihak Pa. Lucky bastard!
“Kakak berdua aja?” tanyaku basa-basi, setelah mereka duduk di depan kami. Hari Jumat adalah hari baju bebas di VIS. Hari untuk pamer baju paling keren. Katrina—nama panjangnya Trina—mengenakan atasan garis-garis model sailor yang kukenali berasal dari koleksi spring/summer Gucci tahun ini, skinny jeans, dan ankle boots Louis Vuitton beraksen pita di belakangnya. Very gorgeous and make me hate her even more—ugh!
“He-eh.”
Dengan agak kasar, Trina menghempaskan handbag Alexander McQueen-nya ke atas meja. Aku sikut-sikutan sama Is. Tau deh yang tas baru....
“Menunya nggak terlalu ‘nendang’ ya?” katanya, menatap makanan di tray-nya dengan muka ilfil. “Nggak spicy nih salmonnya.”
Aku nggak berkomentar. Kak Samuel juga nggak. Kayaknya, udah biasa deh ngeliat Trina komplain soal apa pun. Dia memang tipe pengeluh, mengira dia itu orang paling malang sebumi Indonesia ini. Kedengarannya nggak masuk akal, tapi ini true story. Tak peduli orang melihat kehidupannya sejahtera dan kelewat mewah, adaaa aja yang jadi bahan agoninya. Yang Olla Ramlan ngeduluin dia bikin signature perfume lah (yeee, siapa elo?!), yang Rashi make bustier Dior mirip sama yang dia beli kemarin lah, yang anak-anak di kelasnya nyontek gaya berpakaiannya lah.
Unbelievable! Nggak nyangka cowok perfect dan sensitif kayak Kak Samuel bisa terjerumus sama airhead nggak penting kayak orang ini.
Sadar nggak bisa nyembunyiin rasa muak yang menggantung di wajah, aku buru-buru bangkit dari kursi dan pamitan mo ngambil air minum. Is kayaknya pengen ikut, tapi ketahan sama tangan Trina yang lagi mengagumi kalung etnik di lehernya. “Lucu,” pujinya singkat. “Siapa desainernya?”
“Euh, beli pas pameran kriya di JCC.”
“Made by nobody? Ew!”
Aku ketawa ngikik aja. Poor Is.
Saat itulah hal tak disangka-sangka terjadi. Tahu-tahu aja aku terjatuh dengan posisi wajahku nyaris mencium lantai. Nggak gitu jelas kenapa, tapi pas jalan tadi, kayaknya aku kesandung sesuatu. Ato ada yang sengaja bikin aku jatuh? Siapa?
“Kamu nggak pa-pa?”
Dengan gampangnya, tangan itu mengangkatku dari lantai. Aku berbalik untuk melihat siapa pahlawanku.
“Sori kakiku kepanjangan, nggak nyaman ditekuk di bawah meja. Makanya aku keluarin dan... euh, kamu malah jadi korban—“
Dia masih minta maaf entah soal apa lagi. Aku nggak terlalu ngeh. Kepalaku seperti kosong. Cowok freak, cuman itu yang melompat-lompat di dalam otakku sekarang. Cowok yang menjegal dan menolongku juga adalah cowok sama yang aku omongin belakangan ini.
“Aku cari Betadine dulu ya?”
“Nggak usah! Nggak usah!” tolakku cepat.
“Lo baik-baik aja kan, Ta?” Suara Is terdengar toa banget di belakangku. Aku menoleh dan melihat Kak Samuel juga ikut menghampiriku. Senangnya....
“Maaf banget ya.” Muka si freak melas banget. Sempat bikin nggak tega. Tapi—
“Alah, luka dikit gitu doang. Besok juga udah sembuh.”
Aku spontan menggeram. Maria brengsek! Aku nyaris lupa si jalang itu masih duduk semeja dengan si freak.
Tuesday, April 20, 2010
SUGAR SUGAR (bagian 1)
Posted by Christian Simamora at 2:44 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment